Berita  

Agustusan Meriah Tapi Bijak: Antara Nasionalisme dan Etika Sosial Menurut Islam

Bulan Agustus telah tiba. Bagi bangsa Indonesia, ini bukan sekadar pergantian kalender, tapi bulan penuh semangat kebangsaan. Puncaknya ada di tanggal 17 Agustus—Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. Di mana-mana, mulai dari kota besar hingga pelosok desa, masyarakat menyambutnya dengan berbagai acara khas rakyat.Mulai dari lomba panjat pinang, gerak jalan, pawai budaya, hingga pesta rakyat malam hari—semuanya menggambarkan ekspresi cinta Tanah Air. Namun, di balik kemeriahan itu, terselip hal-hal yang perlu kita evaluasi bersama, terutama jika kegiatan tersebut sampai menimbulkan gangguan sosial seperti macet parah atau tertutupnya akses umum.

Semangat Nasionalisme dalam Bingkai Syariat

Islam tidak pernah menentang cinta kepada negara. Bahkan dalam kaidah para ulama disebut: “Hubbul Wathan minal Iman” — cinta tanah air adalah bagian dari iman. Meski bukan hadits shahih, maknanya sejalan dengan prinsip Islam yang mendorong umat menjaga keamanan, kedamaian, dan kemaslahatan lingkungan sekitar.

Kegiatan Agustusan seperti lomba rakyat dan karnaval budaya adalah bentuk kegembiraan rakyat menyambut kemerdekaan. Ini sekaligus menjadi ajang memperkuat rasa kebersamaan lintas agama, suku, dan status sosial. Maka tak heran jika acara ini dinantikan tiap tahun.

Ketika Semangat Menjadi Tantangan Sosial

Sayangnya, tak jarang semangat ini menjadi boomerang. Jalan ditutup tanpa pemberitahuan, lalu lintas lumpuh, bahkan pasien darurat atau iring-iringan jenazah tertahan karena acara karnaval yang memakan seluruh badan jalan. Dalam Islam, ini jelas perlu diperhatikan.

“Janganlah kalian duduk-duduk di jalan umum…”
(HR. Bukhari & Muslim)

Jika sekadar duduk di jalan saja dilarang tanpa adab, bagaimana jika menutup jalan total untuk acara yang bukan darurat?

Islam mengatur bahwa jalan umum adalah hak milik bersama. Setiap bentuk kegiatan di ruang publik harus menimbang kemaslahatan dan mudaratnya. Prinsip kaidah fiqih menyatakan:

“Menolak kerusakan harus didahulukan daripada menarik manfaat.”
(Dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih)

Meriah Boleh, Asal Bijak

  • Pilih lokasi yang strategis: gunakan lapangan, halaman sekolah, atau tempat terbuka, bukan jalan utama.
  • Koordinasi dengan aparat: polisi dan dinas perhubungan harus dilibatkan untuk rekayasa lalu lintas dan informasi publik.
  • Hindari jam sibuk: kegiatan bisa dilakukan di luar jam kerja atau belajar.
  • Masukkan unsur spiritual: seperti doa bersama, ceramah perjuangan, hingga pemberian santunan bagi keluarga veteran.

Nasionalisme yang Beradab

Kemerdekaan adalah nikmat, dan mensyukurinya adalah kewajiban. Tapi syukur itu tak cukup hanya dengan pesta dan euforia. Justru, syukur yang sejati tampak dari bagaimana kita menjaga keteraturan sosial dan menghargai hak sesama.

Perayaan 17 Agustus seharusnya bukan hanya simbol kemerdekaan fisik, tetapi refleksi atas kemerdekaan moral: apakah kita sudah menjadi warga negara yang beretika? Sudahkah kita menjadikan cinta Tanah Air sebagai jalan ibadah, bukan sekadar selebrasi?

Dirgahayu Republik Indonesia. Merdeka dengan adab, meriah tanpa mudarat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *