Ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, yang biasanya penuh formalitas, mendadak berubah menjadi panggung emosional. Sosok publik yang dikenal kontroversial dan lantang, Nikita Mirzani, menunjukkan sisi lain yang jarang terlihat. Ia menangis, bahkan histeris, bukan karena hukuman, tetapi karena sebuah permintaan: agar sidangnya tetap dilanjutkan meskipun ia sedang sakit.
“Yang Mulia, mohon izin. Saya masih ingin sidang. Tolong dilanjutkan.”
“Kenapa harus ditunda? Aku masih kuat untuk sidang. Besok saja ke rumah sakit.”
Kondisi kesehatan Nikita yang dilaporkan menurun membuat kuasa hukumnya menyerahkan surat rujukan dari Rutan Pondok Bambu untuk perawatan medis. Namun, respons emosional dari Nikita menghadirkan paradoks: ketika terdakwa justru menolak jeda untuk berobat dan bersikeras menghadapi proses hukum.
Majelis hakim tetap pada pendiriannya. Dengan nada tegas namun penuh pertimbangan, ketua majelis menyampaikan bahwa kesehatan tetap menjadi prioritas utama.
“Ini demi kebaikan Saudari sendiri. Kami tidak mau disalahkan jika terjadi apa-apa di sini,” ujar hakim ketua.
Isak tangis Nikita terdengar saat ia digiring keluar dari ruang sidang. Sebuah momen yang tak hanya menyisakan kesan dramatis, tapi juga membuka dimensi kemanusiaan dari sosok yang selama ini dikenal tak gentar terhadap badai kontroversi.
Keputusan hakim untuk menunda sidang bukan tanpa dasar. Dalam sistem hukum, terdakwa berhak mengikuti persidangan dalam kondisi fisik dan mental yang layak. Prinsip kemanusiaan menuntut perlakuan yang adil dan manusiawi, terlepas dari status hukum seseorang.
Penundaan ini juga merupakan langkah preventif demi menjaga keabsahan proses hukum. Jika terdakwa dipaksa menjalani sidang dalam keadaan tidak sehat, maka seluruh jalannya persidangan bisa dinilai cacat secara prosedural.
Di sisi lain, publik pun bereaksi. Media sosial dipenuhi opini dan spekulasi. Sebagian netizen menunjukkan empati, melihat air mata Nikita sebagai ekspresi kelelahan emosional dari seorang ibu yang ingin segera menyelesaikan persoalan hukum yang menjeratnya.
“Di balik kerasnya Nyai, ada manusia biasa yang sedang menahan rasa lelah,” tulis salah satu komentar warganet.
Namun, tidak sedikit pula yang skeptis. Mereka menilai tangisan tersebut sebagai bagian dari strategi membangun simpati publik, bagian dari drama yang telah menjadi langganan sorotan media.
Apapun interpretasinya, satu hal yang pasti: momen ini mengubah narasi tentang Nikita Mirzani. Ia bukan lagi hanya selebritas dengan kontroversi, tapi juga manusia biasa yang ingin segera keluar dari belenggu persoalan hukum.
Peristiwa ini pun menjadi bahan bakar baru bagi media dan kanal digital. Judul seperti “Air Mata Nikita Mirzani di Persidangan” menjadi magnet bagi pembaca dan pengiklan. Ini mencerminkan bagaimana kombinasi hukum, emosi, dan figur publik mampu menciptakan dampak luar biasa dalam ekosistem informasi digital.
Lebih dari sekadar potret selebriti di ruang sidang, ini adalah cerminan dinamika sistem hukum dan sisi rapuh manusia di balik gemerlap layar kaca. Dan di balik setiap sorotan kamera, selalu ada kisah yang belum tentu kita pahami sepenuhnya.